Kemiskinan makin merajalela, seperti rumput ilalang. Dibabat pagi, sore tumbuh lagi, dibabat sore, pagi tumbuh lagi. Rezim demi rezim penguasa mencoba melawannya, tetapi kemiskinan tetap di tempat semula.
Bahkan, bila sikap skeptis di dalam masyakarat benar bahwa si kaya bertambah kaya dan si miskin bertambah miskin, maka jelaslah bagi kita, kemiskinan justru sangat agresif, lebih dari strategi dan program-program yang disusun pemerintah.
Sesudah menaklukkan desa, kemiskinan pun bergerak menyerbu kota, dan menduduki banyak bagian kota sehingga di mana-mana lahir kampung kumuh.
Semua pihak setuju, kemiskinan bukan hanya perkara tak memiliki harta atau memiliki terlalu sedikit dibanding pihak-pihak lain. Kemiskinan juga bukan suratan nasib. Maka sebutan the unfortunate harus ditolak karena di dunia kita tak hanya menyodongkan tangan ke atas dan yang "diberi" lalu yang menjadi yang "beruntung" dan sebaliknya yang tak "diberi" menjadi yang "tak beruntung".
Hidup bukan perkara untung-untungan, melainkan perjuangan. Banyak unsure structural turut mempengaruhi mengapa seseorang, atau segolongan orang, atau mayoritas orang di negeri kita tetap miskin. Maka, di seminar ahli-ahli ilmu pengetahuan di Manado, mungkin tahun 1976, dirumuskanlah pemahaman mengenai kemiskinan structural.
Dan sesudah masalahnya terumus secara menyakinkan seperti itu kita pun tidur nyenyak dan lupa akan urusan kemiskinan, padahal kemiskinan masih melilit sandal jepit presiden dan menteri-menterinya, gubernur, dan bupati-bupatinya, serta walikota dan camat-camatnya, meskipun sebenarnya mereka hidup sangat jauh dari kemiskinan.
"Hanya orang miskin yang ingat akan kemiskinan" kata orang bijak. Jadi kalau pemimpin Negara melupakannya itu biasa. Dan kalau orang kaya di masyarakat kita tak peduli akan orang miskin itu pun sudah "kodrat"
kulturalnya memang begitu.
Maka kalau kau miskin dan di suatu seminar atau pesta kau ditegur orang kaya yang seolah begitu ramah kepadamu, maka bersyukurlah. Tetapi jangan mencoba balik bertanya "apa kabar" kepadanya sebab ia sudah lenyap karena keramahannya tadi hanya basa basi sebab ia takut kepadamu.
"Apa yang ditakutkan orang kaya?"
"Ia takut ketika ia kepergok seperti itu kau mengajukan proposal untuk minta bantuan ini dan itu".
--------------
Saya gembira mengamati kenyataan sosial kita bahwa orang kaya di kalangan teman-teman atau kenalan sendiri begitu terbirit-birit mendengar kata atau melihat wujud proposal. Orang kaya dengan mentalitet seperti itu bukan orang kaya sebenarnya. Ia justru miskin dan patut dikasihani melebihi pengemis di jalanan karena jiwa mereka amat miskin.
Maka, urusan kaya-miskin bagi saya urusan jiwa. Jangan salah, jiwa bukan hanya menyangkut atau meliputi "rasa" melainkan sikap, cara pandang, dan bahkan sampai ke tingkah laku dan segenap ekspresi diri kita dalam hidup. Juga dalam relasi rohaniah kita dengan Tuhan.
Bahkan di hadapan Tuhan pun kita diminta mampu mengembangkan etika untuk merasa memiliki freedom: kebebasan untuk bisa "memuji", "bersyukur", dan bersikap cukup, karena bersama Tuhan, kata Ghandi, kita bisa hidup tanpa kecemasan, tanpa kemarahan.
Dan sufi perempuan terkemuka, Adawiyah pun dengan gagah tak mengharap surga karena dalam kebebasan yang begitu indah bersama Tuhan apalah artinya surga? Ketika Amartya Sen bicara Development as Freedom, saya kira ia lebih menekankan arti ketercukupan materi. Ia lupa materi tak pernah membuat orang merasa cukup.
Ia belum pernah bertemu orang kaya yang jiwanya miskin, yang tak punya "freedom" dan lari terbirit-birit karena takut disodori proposal. Ia lupa akan kearifan Ghandi, yang mengingatkan kita bahwa "accumulation of wealth is accumulation of sin (tumpukan kekayaan adalah tumpukan dosa)".
"Jadi kita tak boleh kaya?"
"Boleh. Bahkan kaya raya pun boleh. Tetapi, jangan bersikap miskin karena dengan begitu kau mengingkari berkah Tuhan, seolah Tuhan tak pernah memberkahimu hingga menjadi kaya macam itu. Tumpukan kekayaan menjadi tumpukan dosa karena jiwa miskin kita mengajak kita ingkar."
Ada kisah orang kaya dan orang miskin yang jiwanya berkebalikan. Ibrahim bin Adham bukan hanya kaya raya. Ia seorang raja. Tetapi, ia merasa tak nyaman dalam kekayaannya. Takut tumpukan kekayaannya hanya akan menjadi tumpukan dosa. Maka ia pun hidup bersahaja sebagai sufi.
Ia pernah bertemu orang kaya yang menawarinya uang. Ia mau menerima uang itu kalau memang orang itu kaya.
"Jangan khawatir, aku kaya," kata orang itu.
"Berapa banyak kekayaannmu?"
"Lima ribu keping uang mas," jawab orang itu lagi.
"Kau ingin punya sampai seribu keping lagi?"
"Mau, kenapa tidak"
"Dan kau ingin punya dua kali lipat jumlah itu?"
"Tentu saja. Tiap orang juga begitu."
"Kalau begitu kau orang miskin. Kau lebih membutuhkan uang itu daripada aku. Simpanlah uang itu baik-baik, sampai uang itu menjadi dua kali lipat yang kau inginkan.
"Kebebasan hidupku membuat aku merasa cukup. Jadi, mustahil aku bisa menerima sesuatu dari orang seperti kamu, yang tiap saat ingin memiliki lebih banyak dan lebih banyak lagi."
Hidup memang penuh bunga-bunga semarak warna-warni, tetapi jarang yang menjadi buah. Maka, bila harus memilih, saya akan memilih bunga yang menjadi buah. Karena itu saya akan berjuang demi "freedom" tadi agar tidak terjajah kekayaan dan tidak cemas akan ancaman kemiskinan.
Tanpa "freedom" menjadi si kaya tak ada gunanya. Apalagi menjadi si miskin
Dimuat dari harian KOMPAS
Note:
Kalau kita nonton acara televisi >>>
* TOLOONG di siaran SCTV , kebanyakan orang yang Hidup seadanya yang menjadi
sorotan media membantu sesamanya .
sebaliknya ???
biarpun mereka miskin tapi kaya jiwanya ..
INDONESIA TETAP MERDEKA jiwanya dan raganya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar